Chengdu, Tiongkok – Berada di pintu masuk Chengdu’s East Railway Station, Fu Guobin menatap layar yang menampilkan gambar inframerah dari orang-orang yang melewati gerbang stasiun. Ketika setiap orang masuk, muncul angka di sebelah gambar dan menunjukkan suhu tubuh mereka.
“Alat ini tentu saja membuat hidupku jauh lebih mudah,” kata karyawan stasiun sambil duduk di biliknya. “Sebelumnya, saya harus menguji suhu semua orang dengan termometer telinga. Dan cara tersebut tidak berhasil, saya pikir sistem baru ini jauh lebih baik.”
Lebih dari 50.000 orang melewati stasiun kereta api tempat Fu bekerja, ada tuntutan besar untuk mengidentifikasi secara cepat dan akurat pengguna moda transportasi kereta yang mungkin sedang mengalami demam. Dimana kita tahu demam menjadi salah satu gejala utama infeksi virus corona baru yang telah menewaskan 2.870 orang di Tiongkok.
Alat pemindai thermal yang baru dipasang di stasiun kereta api di kota-kota besar Cina menjadi salah satu cara pemerintah menggunakan kecerdasan buatan atau Artificiall Intelligence (AI) dan Big Data untuk memerangi virus mematikan yang telah menginfeksi 57 negara termasuk Indonesia sejak pertama kali terdeteksi di Provinsi Hubei China pada akhir Desember tahun lalu.
Fu mengatakan sejauh ini hanya ada satu contoh di mana Ia harus memberi tahu petugas kesehatan jika adanya seorang penumpang wanita dari Henan yang demamnya mencapai 37,9 derajat celcius.
“Setelah beberapa menit, suhunya masih belum turun. Kami memiliki ruang isolasi di stasiun kereta api, jadi kami menempatkannya di kamar dan mencatat informasi perjalanannya, kemudian memberi tahu otoritas kesehatan,” katanya.
Jika penumpang yang demam tersebut terinfeksi virus, rumah sakit akan menghubungi pihak berwenang (transport authorities) untuk memperingatkan penumpang dalam kereta, menurut Fu. Pihak berwenang dapat melakukan proses tersebut karena dapat melacak setiap penumpang melalui data yang didaftarkan saat menggunakan transportasi umum.
Saat ini beberapa perusahaan di China berencana untuk meningkatkan system deteksi suhu untuk memasukan teknologi pengenalan wajah (facial recognition technology). Pada 07 Februari lalu, perusahaan AI Megvii sedanga mengerjakan proyek “pengintegrasian deteksi tubuh, wajah dan pengindraan ganda melalui kamera inframerah dan visible light” untuk membantu staf yang bekerja di bandara ataupun stasiun. Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dengan cepat orang yang memiliki suhu tubuh yang tinggi.
“Pengenalan wajah (facial recognition) dan the real-name system akan membantu kami melacak pengguna transportasi yang berpotensi terkena virus dan secara efektif mengurangi penyebaran pathogen,” Zeng Yixin, Wakil direktur Komisi Kesehatan Nasional China.
Teknologi canggih ini belum tersedia saat terjadinya wabah SARS pada tahun 2003,” tambahnya, merujuk pada wabah virus lainnya yang menewaskan ratusan orang di China. “jadi, kami percaya bahwa perkembangan teknologi memiliki kontribusi yang besar dalam memerangi wabah virus ini.”
Pemerintah Cina telah mendirikan system pengawasan yang paling canggih di dunia. Selain mendeteksi lewat the real-name system yang mengharuskan masyarakat menggunakan ID card atau kartu kependudukan yang dikeluarkan pemerintah, kartu ini difungsikan untuk membuat akun social media, mendaftarkan sim card ponsel, membeli tiket kereta, pesawat hingga membeli bahan makanan di supermarket. Pihak berwenang juga dapat melacak melalui 200 juta security cameras yang terpasang secara nasional.
Beberapa dari kamera ini dilengkapi dengan teknologi pengenalan wajah yang memungkinkan pihak berwenang melacak tindakan criminal, hingga pelanggaran sekecil apapun seperti jaywalking. Pihak berwenang mengawasi masyarakat melalui system pengawasan di tengah wabah coronavirus.
Ren, seorang pemilik restoran yang bekerja di Hubei, mengatakan bahwa polisi setempat mendatangi kediamannya di Provinsi Sichian Barat sesaat setelah Ia kembali dari perayaan Tahun Baru Imlek pada 23 Januari. Pihak berwenang memerintahkannya untuk mengkarantina dirinya sendiri selama 14 hari. Polisi mencatat nomornya dan mengatakan akan menghubungi setiap hari untuk memeriksa suhunya.
Keesokan harinya, Ren, yang meminta untuk diidentifikasi melalui nama keluarganya, berkunjung ke kebun terdekat untuk memanen kubis dan lobak dan mempersiapkan makan malam menjelang Tahun Baru. Ketika tiba, Ia menerima telepon dari pihak berwenang setempat yang mengatakan untuk segera pulang.
Ren menambahkan, Ia yakin ada pihak setempat yang telah melacak pergerakanya menggunakan kamera pengintai yang dipasang dilingkungannya.
“saya pikir mereka tahu bahwa saya telah kembali dari Hubei ke Sichuan karena semua kereta dan bus yang saya tumpangi perlu mendaftarkan nama asli,” tambahnya. “Tapi ada fakta yang membuat saya terkejut, bahwa mereka memiliki kamera pengintai yang dipasang di lingkungan kecil saya dan mereka memantau untuk memastikan saya tidak meninggalkan rumah selama 14 hari karantina.”
Ren, yang mengatakan sudah sembuh dari virus mematikan tersebut dan telah menyelesaikan karantina, telah menghitung setidaknya ada empat kamera cctv yang dipasang di dekat rumahnya.
Cara lainnya di mana China memanfaatkan teknologi Big Data dalam wabah ini adalah dengan melacak informasi tentang pergerakan melalui smartphone dan meluncurkan aplikasi yang memungkinakn pengguna mengetahui apakah mereka telah melakukan kontak dengan pembawa corona virus yang telah dikonfirmasi.
Misalnya, perusahaan telekomunikasi China Mobile mengirim banyak pesan teks ke media mengenai daftar orang yang dikonfirmasi terjangkit virus. Pesan-pesan teks ini menyertakan informasi tentang detail riwayat perjalanan pasien hingga informasi kursi yang didudukinya saat naik kereta.
Pada awal-awal penyebaran wabah virus tersebut, media China akan memposting informasi di media social sehingga memungkinkan masyarakat mengetahui apakah mereka memiliki riwayat kontak langsung dengan pasien yang dikonfirmasi positif virus.
Saat ini pemerintah China telah meluncurkan aplikasi smartphone yang dikenal dengan “Close Contact Detector”. Aplikasi ini berfungsi untuk memberitahu penggunanya bila tengah berada di dekat seseorang yang teinfeksi virus Covid-19.
Cara kerja aplikasi ini adalah dengan memindai kode Respon Cepat (QR) via smartphone yang bisa diakses melalui Alipay atau platform social media WeChat.
Sementara itu, beberapa perusahaan yang telah meminta kembali karyawannya meminta untuk membuat “laporan verifikasi perjalanan” yang dibuat oleh penyedia telekomunkasi. Setelah mengirim laporan ke penyedia, pengguana akan secara otomatis menerima pesan yang merinci semua kota yang mereka kunjungi dalam waktu 14 hari terakhir dan waktu karantina yang disarankan berdasarkan system pelacakan lokasi.
“Kami percaya bahwa big data dapat membantu pemerintah secara efektif memperkirakan perkembangan epidemic dengan mengintegrasikan pengumpulan data,” kata Dr Cecile Viboud, seorang ilmuwan di National Institute China.
Divisi Kesehatan Epidemiologi Internasional dan Studi Kependudukan di AS, “China memiliki system pengawasan yang sangat komperhensif dan terbukti membantu mengumpulkan data yang dibutuhkan.”
“Mengumpulkan data pribadi untuk mengendalikan wabah virus harus menghormati aturan yang ada dan menghindari excessive collecting,” kata Qiu Baochan, seorang pengacara yang focus pada privacy law. “Sangat penting untuk memastikan tidak ada informasi yang bocor dan semua data yang dikumpulkan harus dihapus setelah digunakan.”
Mu, seorang warga Chengdu yang memilih memberikan nama singkatnya mengatakan: “Saya mengerti alasan dibalik keputusan ini (melacak kemungkinan pembawa virus) karena situasi khusus yang sedang kita alami. Tetapi harus ada batasan, semakin mengkhawatirkan berapa banyak informasi yang dimiliki pemerintah tentang kita.”