Tren AI Studio Ghibli: Antara Kekaguman dan Penghinaan terhadap Seni
Peluncuran generator gambar terbaru dari OpenAI yang didukung oleh GPT-4o telah memicu tren baru di media sosial—banjir gambar bergaya Studio Ghibli yang dibuat secara instan dengan kecerdasan buatan. Ironisnya, tren ini justru bertentangan dengan filosofi Studio Ghibli sendiri.
Apa Itu Tren AI Studio Ghibli?
Setelah OpenAI merilis generator gambar terbaru, para pengguna dengan cepat menyadari bahwa alat ini mampu menghasilkan gambar berkualitas tinggi dengan sedikit batasan hak cipta. Walaupun masih ada beberapa kekurangan seperti jari yang aneh atau detail latar belakang yang tidak sempurna, hasil akhirnya semakin sulit dibedakan dari karya asli.
Banyak pengguna bereksperimen dengan berbagai gaya kartun seperti South Park, Rick and Morty, dan The Simpsons, tetapi gaya Studio Ghibli-lah yang paling populer hingga menjadi tren di media sosial, khususnya di X (Twitter).
Studio Ghibli dikenal dengan gaya animasi yang indah, penuh dengan ketenangan dan suasana hangat. Tidak heran jika banyak orang tertarik untuk “meng-Ghibli-kan” foto pribadi mereka atau bahkan mengubah gambar-gambar ikonik menjadi versi anime yang lebih imut dan nyaman dipandang.
Bertentangan dengan Filosofi Studio Ghibli
Namun, tidak semua orang menyambut tren ini dengan antusias. Para penggemar setia Studio Ghibli merasa bahwa penggunaan AI untuk meniru gaya seni seorang seniman secara instan adalah bentuk perusakan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh studio tersebut.
Hayao Miyazaki, co-founder dan sosok legendaris di balik Studio Ghibli, telah lama mengecam penggunaan AI dalam seni. Dalam sebuah video wawancara yang viral, ia pernah ditunjukkan sebuah animasi berbasis AI dan langsung mengecamnya dengan berkata, “Saya merasa ini adalah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.”
Miyazaki, yang telah menyutradarai film-film ikonik seperti Spirited Away, My Neighbor Totoro, dan The Boy and the Heron, percaya bahwa seni harus lahir dari emosi, pengalaman, dan sentuhan manusia—bukan sekadar produksi massal oleh mesin.
Bahkan, banyak film Ghibli yang mengangkat tema keharmonisan dengan alam. Oleh karena itu, ironi terbesar dari tren ini adalah bagaimana teknologi AI—yang sangat boros energi dan jauh dari prinsip keberlanjutan—justru digunakan untuk meniru karya-karya Ghibli yang sarat akan pesan cinta terhadap alam.
Seni yang Semakin Mudah Dibuang?
Seperti tren AI lainnya, demam Studio Ghibli ini mungkin akan segera mereda. Namun, tren ini menjadi pengingat bahwa generative AI semakin membuat seni terasa seperti produk sekali pakai, instan, masif, dan tanpa sentuhan manusia.
Gaya Studio Ghibli memang sudah menjadi bagian dari budaya pop dan sering ditiru dalam berbagai bentuk. Namun, dengan AI, proses imitasi ini tidak lagi membutuhkan keahlian atau pemahaman mendalam terhadap seni itu sendiri. Yang tersisa hanyalah pabrik digital yang memproduksi gambar-gambar yang sekilas terlihat seperti seni, tetapi tanpa jiwa.
Mungkin, inilah yang pernah dikhawatirkan Miyazaki, bukan sekadar akhir dari seni tradisional, tetapi juga hilangnya kepercayaan manusia terhadap dirinya sendiri.